, ,

Pemerintah Langkat Diduga Kurang Tetapkan Penerimaan BPHTB Rp36 Juta

oleh -357 Dilihat

Gelap-Terang Pengelolaan Pajak di Langkat: BPHP Temukan Penyimpangan Rp36 Juta dalam Pengelolaan BPHTB

Jeritan Pematangsiantar– Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Langkat kembali menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Perwakilan Sumatera Utara untuk laporan keuangan Pemkab Langkat Tahun 2024 mengungkap adanya dugaan penyimpangan dalam pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang tidak sesuai dengan peraturan daerah setempat. Penyimpangan ini diduga menyebabkan potensi kerugian daerah sebesar Rp36.000.000.

Temuan ini tertuang dalam LHP BPK bernomor 47.B/LHP/XVIII.MDN/05/2025 yang ditandatangani pada 22 Mei 2025. Laporan ini bukan hanya tentang angka yang salah, tetapi menyibak celah dalam sistem pengelolaan pajak daerah yang berpotensi merugikan negara dan menciptakan ketidakadilan bagi wajib pajak.

Anggaran Terealisasi, Namun Masalah Tersembunyi

Secara sekilas, kinerja pendapatan BPHTB Pemkab Langkat tampak gemilang. Target anggaran yang ditetapkan sebesar Rp41,47 miliar ternyata jauh terlampaui dengan realisasi mencapai Rp45,57 miliar. Namun, di balik angka yang mentereng itu, BPK menemukan praktik yang tidak sesuai koridor aturan main.

Pemerintah Langkat Diduga Kurang Tetapkan Penerimaan BPHTB Rp36 Juta
Pemerintah Langkat Diduga Kurang Tetapkan Penerimaan BPHTB Rp36 Juta

Baca Juga: Becak Siantar, Transportasi Unik yang Jadi Ikon Kota Pematangsiantar

BPHTB sendiri adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Besarannya dihitung dengan mengalikan tarif 5% dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Pengenaannya di Langkat mengacu pada Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dua Temuan Krusial: Pengulangan NPOPTKP dan NPOP yang Diremehkan

BPK mengidentifikasi setidaknya dua masalah utama yang saling berkaitan:

1. Pengenaan NPOPTKP Ganda (Rp36 Juta)
Perda Langkat dengan jelas menyatakan bahwa NPOPTKP sebesar Rp80.000.000 hanya diberikan sekali untuk perolehan hak pertama seorang wajib pajak di wilayah tersebut. Namun, hasil uji petik BPK menemukan bahwa terdapat 9 (sembilan) wajib pajak yang justru mendapatkan pengurangan NPOPTKP ini lebih dari satu kali sepanjang tahun 2024. Kesalahan administrasi ini mengakibatkan pajak yang seharusnya diterima daerah kurang ditetapkan sebesar Rp36.000.000.

2. Penggunaan NPOP di Bawah NJOP (Rp5,1 Miliar)
Masalah kedua, dan ini jauh lebih besar nilainya, adalah terkait dasar pengenaan pajak. Perda mensyaratkan bahwa dasar pengenaan BPHTB adalah NPOP. Namun, jika NPOP tidak diketahui atau nilainya lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan untuk PBB-P2, maka yang digunakan sebagai dasar penghitungan adalah NJOP tersebut.

Faktanya, BPK menemukan 354 transaksi BPHTB pada 2024 yang menggunakan NPOP sebagai dasar pengenaan, meskipun nilai NPOP-nya jelas-jelas lebih rendah dari NJOP PBB-P2. Praktik ini menimbulkan selisih ketetapan pajak yang seharusnya diterima daerah sebesar Rp5.127.005.900. Artinya, potensi pendapatan yang hilang hampir 5,1 miliar jauh lebih besar daripada temuan pertama.

BAPENDA Beralih: Sertifikat vs Keterangan Desa

Menanggapi temuan kedua, Kepala Bidang Pendataan dan Penetapan Bapenda Langkat memberikan penjelasan. Menurutnya, NJOP pada ketetapan PBB-P2 seringkali hanya berdasarkan surat keterangan tanah dari kelurahan/desa yang dilampirkan dengan peta dan perhitungan manual. Sementara, saat validasi BPHTB, wajib pajak diharuskan melampirkan sertifikat tanah resmi dari Kementerian ATR/BPN yang memuat hasil pengukuran ulang dengan kondisi terkini.

Bapenda beralasan, mereka kemudian menetapkan NPOP berdasarkan luas tanah dan bangunan sesuai sertifikat terbaru tersebut, yang mungkin berbeda dengan data NJOP lama di sistem PBB-P2. Alasan ini berusaha menjelaskan mengapa NPOP yang mereka tetapkan bisa berbeda (dan seringkali lebih rendah) dari NJOP PBB-P2.

BPK Tegaskan: Ini adalah Kelemahan Sistem dan Pengendalian

BPK tidak menerima alasan tersebut begitu saja. Bagi BPK, aturan sudah jelas: gunakan nilai tertinggi. Jika ada perbedaan data, maka Bapenda harusnya melakukan harmonisasi dan pemutakhiran data, bukan justru menggunakan dasar yang lebih rendah dan berpotensi merugikan negara.

BPK menyimpulkan bahwa akar permasalahannya adalah:

  1. Kepala Bapenda Langkat dinilai gagal mengendalikan pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pendapatan sesuai kondisi senyatanya.

  2. Kepala Bidang Pendataan dan Penetapan tidak melaksanakan perhitungan dan penetapan pajak sesuai ketentuan Perda.

  3. Tidak dilakukannya pemutakhiran basis data objek dan subjek pajak daerah secara berkala dan terintegrasi.

BAPENDA Setuju, Tapi Tindak Lanjut Masih Menjadi Tanda Tanya

Dalam LHP tersebut, Kepala Bapenda Langkat disebutkan telah menyetujui temuan BPK dan berkomitmen untuk menindaklanjutinya. Komitmen di atas kertas ini tentu saja harus dibuktikan dengan action nyata.

Hingga berita ini diturunkan, pihak Bapenda Langkat belum dapat dimintai keterangan resmi mengenai langkah konkret apa yang telah diambil untuk merevisi ketetapan yang salah, menagih kekurangan pajak, dan yang terpenting, memperbaiki sistem yang cacat ini. Pertanyaan besarnya adalah: apakah ini hanya kesalahan administratif biasa, atau indikasi dari lemahnya pengawasan dan pengendalian internal di tubuh Bapenda Langkat?

Temuan BPK ini merupakan alarm peringatan. Kerugian Rp36 juta mungkin terlihat kecil dibandingkan anggaran daerah, tetapi nilai potensial sebesar Rp5,1 miliar dan adanya 354 kasus yang salah menunjukkan bahwa ini adalah masalah sistemik. Masyarakat Langkat berhak atas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pajak, karena uang pajak mereka adalah nyawa bagi pembangunan daerah. Jika tidak ditangani dengan serius, ini bukan hanya soal kerugian materiil, tetapi juga erodingnya kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah.

Skintific

No More Posts Available.

No more pages to load.