Pematangsiantar – Pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka resmi berjalan sejak pelantikan bulan lalu. Dengan narasi besar soal “kedaulatan nasional” dan “transformasi total”, publik berharap perubahan signifikan menyentuh seluruh lini — terutama soal penegakan hukum.
Namun, di balik gebrakan awal dan gaya komunikasi baru, muncul satu pertanyaan mendasar:
Apakah hukum sudah benar-benar berdaulat di bawah pemerintahan ini?
Atau masih tunduk pada kekuasaan, kepentingan politik, dan kompromi elit?
Janji Tegakkan Hukum, Tapi Lembaga Penegak Masih ‘Terpenjara’

Baca Juga : Saleh PAN Telusuri Jangan Ponpes Al Khoziny Terkesan Salah Dibantu APBN
Salah satu janji utama pasangan Prabowo–Gibran selama kampanye adalah penguatan institusi hukum, mulai dari pemberantasan mafia hukum, reformasi kejaksaan, hingga restorasi kepercayaan publik terhadap kepolisian.
Namun kenyataannya:
-
KPK masih dalam kondisi lemah, pasca-revisi UU yang belum juga dikoreksi.
-
Kepolisian justru makin sering terlibat dalam isu-isu politik dan konflik kepentingan.
-
Peradilan masih belum steril dari intervensi, terutama di kasus-kasus besar yang menyentuh kekuasaan atau oligarki.
“Rezim berganti, tapi struktur relasi kuasa di dunia hukum masih sama. Yang kuat tetap sulit disentuh, yang kecil tetap mudah dikriminalisasi,” ujar salah satu akademisi hukum dari Yogyakarta.
Hukum yang Belum Merdeka = Rakyat yang Masih Tak Punya Pegangan
Tanpa supremasi hukum, narasi besar soal “Indonesia Emas 2045” tak lebih dari utopia.
Sebab negara hukum seharusnya jadi fondasi semua transformasi, bukan hanya embel-embel kampanye.
Jika hukum bisa dibeli, ditunda, atau diarahkan — maka:
-
Korupsi tak akan pernah benar-benar habis
-
Investasi takut masuk
-
Rakyat kecil terus jadi korban ketidakadilan
Dan inilah yang masih terjadi di bulan-bulan awal pemerintahan Prabowo-Gibran: belum terlihat ada gigi tajam hukum yang mampu menggigit tanpa pilih bulu.
Pemerintah Harus Pilih: Kawan Kekuasaan atau Kawan Keadilan?
Di titik ini, publik tidak menuntut keajaiban. Tapi tindakan konkret dan arah yang tegas.
Apakah pemerintahan ini akan:
-
Mengoreksi UU KPK dan memperkuat pengawasan lembaga hukum?
-
Berani menyentuh aktor-aktor besar yang selama ini kebal hukum?
-
Menjaga aparat penegak hukum dari jadi alat politik?
Jika tidak, maka hukum akan terus jadi alat — bukan pondasi. Dan kekuasaan akan terus jadi pelindung segelintir elit, bukan penjaga hak rakyat.
Penutup: Hukum yang Berdaulat Bukan Sekadar Retorika
Pemerintahan Prabowo-Gibran baru saja mulai. Masih banyak ruang untuk memperbaiki, mengoreksi, dan membuktikan bahwa mereka tidak hanya meneruskan pola lama.
Tapi satu hal pasti:
Hukum tidak akan pernah benar-benar berdaulat jika selalu harus menunggu izin dari kekuasaan.



